5 Kisah Anak di Sumba: Belajar di Sekolah yang tidak layak

Halo Sahabat Bali Life,

Beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu sekolah di daerah pedalaman Sumba.
Bukan perjalanan yang singkat. Dari pusat kota, kami menempuh perjalanan panjang dengan mobil selama berjam-jam, melewati jalan berbatu, menanjak dan menurun, serta hamparan padang rumput yang luas sejauh mata memandang. Sumba memang indah, tetapi perjalanan ini membuka mata saya bahwa di balik keindahan alamnya, ada cerita lain yang jarang terdengar—tentang anak-anak yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan.

Pertama Kali Melihat Sekolah Itu

Saya ingat betul saat mobil berhenti di depan bangunan sederhana yang mereka sebut sekolah. Dari kejauhan, saya melihat dindingnya terbuat dari anyaman bambu. beberapa bagian dinding miring, dan atapnya terbuat dari seng tua yang sudah berkarat, sebagian bahkan berlubang. Saat saya melangkah lebih dekat, saya bisa melihat celah-celah di dinding yang cukup besar untuk membiarkan angin dan sinar matahari masuk begitu saja.

Di halaman sekolah, saya disambut oleh suara tawa anak-anak. Mereka berlarian tanpa alas kaki, beberapa memegang buku yang sudah lusuh. Ada sekitar 80 anak di sekolah itu, dari berbagai tingkatan kelas, dan hanya beberapa guru yang mengajar. Melihat mereka berbaris rapi menyambut kami, dengan senyum yang begitu tulus, saya hampir lupa bahwa mereka belajar di tempat yang begitu rapuh.

Ruang Kelas yang Sederhana

Saya melangkah masuk ke salah satu ruang kelas. Anyaman bambu yang sudah lama langsung menyambut saya. Lantainya tanah, sebagian ditutupi tikar tipis yang warnanya mulai pudar. Di dalam ruangan, ada beberapa meja dan kursi kayu yang disusun rapi, tapi jumlahnya tidak cukup untuk semua murid.

Dinding bambu dipenuhi lubang-lubang kecil, sehingga cahaya matahari menembus dan memantulkan garis-garis tipis di dinding. Namun, lubang itu juga menjadi jalan masuknya udara panas yang membuat ruangan terasa pengap. Saat angin kencang datang, debu dan dedaunan kecil ikut masuk, membuat anak-anak terpaksa menahan kelopak mata agar tidak kelilipan.

Meski begitu, guru tetap menggunakannya dengan penuh semangat, menulis huruf demi huruf sambil sesekali tersenyum menyemangati murid-muridnya. Dan yang paling membuat hati saya hangat, adalah mata anak-anak itu—bersinar penuh rasa ingin tahu, meski ruang kelas mereka jauh dari kata sempurna.

Tantangan Saat Musim Hujan

Guru bercerita bahwa tantangan terbesar mereka adalah ketika musim hujan tiba. Atap seng yang sudah berlubang membuat air hujan menetes langsung ke lantai, meja, dan buku. Jika hujan deras disertai angin kencang, air bisa masuk dari segala arah. Anak-anak sering terpaksa menghentikan pelajaran dan keluar dari kelas untuk berteduh di luar—ironisnya, berteduh di luar terkadang lebih kering daripada berada di dalam kelas.

Saya sempat merasakan langsung kejadian itu. Hari itu, langit mendadak gelap, dan hujan turun deras. Suara hujan di atap seng terdengar begitu keras hingga menutupi suara guru yang sedang berbicara. Air mulai menetes di beberapa sudut kelas, lalu membentuk genangan kecil.

Guru menghentikan pelajaran dan meminta anak-anak keluar. Mereka berlari kecil sambil membawa buku, melindunginya dengan baju atau tas agar tidak basah. Saya berdiri memandangi mereka, merasa sesak di dada. Mereka tidak mengeluh, hanya tertawa kecil sambil menunggu hujan reda.

Semangat yang Tidak Pernah Padam

Yang membuat saya terharu adalah bagaimana anak-anak ini tetap datang ke sekolah setiap hari, bahkan ketika cuaca buruk atau saat mereka harus berjalan kaki jauh dari rumah. Beberapa anak menempuh perjalanan lebih dari 3 kilometer hanya untuk sampai ke sekolah, melewati jalan berbatu. Tidak ada kendaraan antar-jemput, mereka mengandalkan kaki kecil mereka yang kuat. Meski fasilitas mereka sangat terbatas, cita-cita mereka besar. Ada yang ingin menjadi guru, perawat, dokter, bahkan pemimpin desa.

Guru yang Berjuang Tanpa Lelah

Guru di sekolah ini pun luar biasa. Mereka mengajar dengan gaji yang jauh dari cukup, kadang bahkan harus menggunakan uang pribadi untuk membeli kapur tulis, buku, atau alat tulis bagi murid yang tidak mampu.
Mereka tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga menjadi orang tua kedua, pendengar, dan penyemangat bagi anak-anak.

Salah satu guru bercerita bahwa ia pernah mengajar sambil memegang payung di dalam kelas, karena atap bocor tepat di atas papan tulis. Saya tersenyum pahit mendengar cerita itu. Bayangkan, di kota, sekolah dengan AC rusak saja bisa membuat siswa mengeluh, tapi di sini, guru dan murid tetap mengajar dan belajar meski harus menahan basah.

Saatnya Kita Bergerak Bersama

Memperbaiki sekolah ini bukan hanya soal mengganti atap atau memperkuat dinding. Ini tentang memberi mereka kesempatan yang sama seperti anak-anak di tempat lain—kesempatan untuk belajar di ruang yang aman, nyaman, dan layak.

Bayangkan jika kita bisa membangun ruang kelas dengan dinding kokoh, atap yang tidak bocor, meja dan kursi untuk semua anak, serta buku yang cukup. Bayangkan anak-anak itu belajar tanpa harus takut hujan atau panas.

Kita tidak bisa membiarkan mimpi mereka tertunda hanya karena atap sekolah bocor. Kita bisa menjadi bagian dari perubahan ini Mari kita bersama-sama membantu membangun sekolah yang lebih layak untuk anak-anak di Sumba. Mari kita pastikan mereka bisa belajar dengan tenang, tanpa harus keluar kelas saat hujan datang.

Contact Us

We’d love to hear from you! Whether you have a question about our programs, want to get involved and support our mission.