Pendidikan di Pedalaman Sumba: Antara Semangat dan Keterbatasan

Beberapa bulan lalu, saya berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah dasar di pedalaman Sumba. Dari pusat kota, perjalanan menuju sekolah ini cukup panjang dan melelahkan, melewati jalan berbatu serta naik-turun bukit.

Di balik keindahan alam Sumba, akses pendidikan masih menjadi persoalan serius. Di banyak desa terpencil, sekolah jumlahnya terbatas, jaraknya bisa lebih dari tiga kilometer dari rumah anak-anak.

Kondisi ekonomi masyarakat bergantung pada pertanian sederhana, ternak, dan kerajinan lokal. Penghasilan rata-rata keluarga rendah, membuat sekolah sering kali menjadi pilihan kedua setelah pekerjaan rumah atau ladang.

Bangunan sekolah yang saya datangi hanya berdinding bambu dan beratap seng berkarat. Beberapa bagian sudah miring, penuh lubang, sehingga angin, debu, dan cahaya matahari masuk leluasa. Saat hujan, air menetes dari langit-langit hingga membasahi lantai tanah dan buku murid.

Ruang kelas tidak memiliki meja dan kursi yang cukup. Sebagian anak belajar di lantai beralaskan tikar tipis. Buku pelajaran terbatas dan sering harus dipakai bergantian.

Meski serba kekurangan, sekitar 80 murid tetap hadir setiap hari. Mereka datang dengan berjalan kaki, sebagian menempuh jarak hingga 3 kilometer, mengenakan seragam rapi dan sepatu sederhana. Tas yang mereka bawa sering kali lebih besar dari tubuh mereka, tapi semangatnya tidak pernah luntur.

Jumlah guru terbatas. Mereka mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus, dengan gaji yang tidak sebanding. Namun, semangat mereka tidak surut.

Di tengah ruang kelas yang bising oleh suara hujan di atap seng, guru tetap berusaha melanjutkan pelajaran. Saat atap bocor dan ruangan tergenang, anak-anak keluar untuk berteduh. Ironisnya, berdiri di luar justru lebih kering daripada berada di dalam kelas.

Yang menguatkan suasana adalah semangat anak-anak. Mereka tetap bersekolah meski harus berjalan jauh atau belajar di ruang kelas bocor. Banyak dari mereka bercita-cita menjadi guru, perawat, dokter, bahkan pemimpin desa.

Bagi anak-anak ini, sekolah bukan sekadar tempat belajar, melainkan simbol harapan.

Memperbaiki sekolah di pedalaman bukan hanya tentang membangun tembok dan atap baru. Lebih dari itu, ini tentang memberikan kesempatan yang sama seperti anak-anak di kota: ruang belajar yang aman, meja dan kursi yang layak, serta buku yang cukup.

Pendidikan adalah hak setiap anak. Mimpi mereka tidak boleh terhenti hanya karena bangunan sekolah rapuh.

Read also

Contact Us

We’d love to hear from you! Whether you have a question about our programs, want to get involved and support our mission.